BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada hakikatnya, ilmu kebidanan sudah ada sejak manusia ada. Bidan lahir sebagai
wanita terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu-ibu yang melahirkan.
Profesi ini telah mendudukan peran dan posisi seorang bidan menjadi terhormat
di masyarakat karena tugas yang diembannya sangat mulia dalam upaya memberikan
semangat dan membesarkan hati ibu-ibu. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mempercepat
penurunan Angka Kematian Ibu adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada
setiap ibu yang membutuhkannya.Untuk itu sejak tahun 1990 telah ditempatkan
bidan di desa,yang pada tahun 1996 telah mencapai target 54.120 bidan. Dengan
demikian, dapat diasumsikan bahwa hampir semua desa di wilayah Indonesia
mempunyai akses untuk pelayanan kebidanan.
Salah
satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan
kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas ibu, khususnya
dinegara berkembang dan negara miskin (25%-50%)
Oleh
karena itu kita perlu mengetahui perkembangan pelayanan dan pendidikan
kebidanan baik baik secara nasional maupun internasional. Ini semua diperlukan
untuk menambah wawasan kita sebagai Bidan.
1.2
Tujuan
Mempelajari
dan memahami sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan secara
nasional
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
2.1
Definisi
Kebidanan
Bidan
adalah seseorang yang telah Program Pendidikan Bidan yang diakui oleh negara
serta memperoleh
kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik kebidanan di negeri itu.
2.2 Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan
Kebidanan di Indonesia
2.2.1 Perkembangan
Pelayanan Kebidanan
Menurut referensi lain.
Perkembangan
pelayanan dan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari masa penjajahan
Belanda, era kemerdekaan, politik atau kebijakan pemerintah dalam pelayanan dan
pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan masyarakat serta kemajuan ilmu dan
tekhnologi.
Dari tahun ke tahun pelayanan
kebidanan mengalami perkembangan sebagai berikut:
Pada
zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.
Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (Zaman Gubernur
Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan
persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya
pelatih kebidanan.
Pelayanan
kesehatan terrmasuk pelayanan kebidanan hanya diperuntukan bagi orang-orang
Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 dibuka pendidikan
dokter Jawa di Batavia (RS Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto).
Seiring dibukanya pendidikan dokter tersebut pada tahun 1851 dibuka pendidikan
Bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (Dr.
W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja di RS juga di masyarakat. Mulai saat itu
pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan Bidan.
Pada
tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan
kualitas pertolongan persalinan. Kursus untuk dukun masih berlangsung sampai
sekarang, yang memberikan kursus adalah Bidan. Perubahan pengetahuan dan
keterampilan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat
dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah kursus tambahan
Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Jogjakarta yang akhirnya dilakukan pula
dikota-kota besar lain di Nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut
didirikanlah balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) dimana Bidan sebagai
penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat
Pelayanan
yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, post natal dan pemeriksaan bayi
dan anak termasuk imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan
memberikan pertolongan persalinan di rumah keluarga dan pergi melakukan
kunjungan rumah sebagai upaya tindak lanjut dari pasca persalinan.
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi
kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada
tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung
dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi
dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga
berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang
diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di
pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup empat kegiatan
yaitu: pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan
kesehatan lingkungan.
Mulai
tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan
masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi
Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik
bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah
sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil,
bersalin dan nifas serta pelayanan. kesehatan bayi baru lahir, termasuk
pembinaan dukun bayi. Dalam kaitan tersebut, bidan di desa juga menjadi
pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang pelaksanaannya
sejalan dengan tugas utamanya dalam pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan
tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak
yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya
serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal
tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan
yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan
bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi
pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal,
gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam, hamil,
pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan
ruang perinatal.
Titik
tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang
menekankan pada reproductive health (kesehatan reproduksi), memperluas area
garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi:
1.
Safe Motherhood,
termasuk bayi baru lahir clan perawatan
abortus.
2.
Family Planning.
3.
Penyakit menular
seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi.
4.
Kesehatan reproduksi
remaja.
5.
Kesehatan reproduksi
pada orang tua.
Bidan
dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan
kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes
tersebut dimulai dari:
a.
Permenkes No.
5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b.
Permenkes No.
363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989 wewenang bidan
dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam wewenang khusus
ditetapkan bila bidan melaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter.
Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya tidak bertanggung jawab
dan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan. Pelaksanaan dari Permenkes
ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
c.
Permenkes No.
572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek bidan. Bidan
dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan
tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang
tersebut mencakup:
§
Pelayanan kebidanan
yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
§
PelayananKeluargaBerencana.
§
Pelayanan kesehatan
masyarakat.
Dalam melaksanakan
tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan
kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Selanjutnya diuraikan kewenangan
bidan yang terkait dengan lbu dan anak, lebih terinci misalnya: kuretasi
digital untuk sisa jaringan konsepsi, vakum ekstraksi dengan kepala bayi di
dasar panggul, resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfeksia dan hipotermia
dan sebagainya. Pelayanan kebidanan dalam bidang keluarga berencana, bidan
diberi wewenang antara lain: memberikan alat kontrasepsi melalui oral,
suntikan, AKDR, AKBK (memasang maupun mencabut) kondom dan tablet serta tissu
vaginal.
Dalam keadaan darurat
bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk
penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam
menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan,
pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Di samping itu bidan diwajibkan
merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia, meminta
persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan, memberikan informasi serta
melakukan rekam medis dengan baik. Untuk memberikan petunjuk pelaksanaan yang
lebih rinci mengenai kewenangan bidan ini dikeluarkan Juklak yang dituangkan
dalam Lampiran Keputusan Dirjend Binkesmas No. 1506/Tahun 1997.
Pencapaian kemampuan
bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidaklah mudah, karena kewenangan yang
diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan akan kemampuan
bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut
dapat diawali dari institusi pendidikan yang berpedoman pada kompetensi inti
bidan dan melalui institusi pelayanan dengan meningkatkan kemampuan bidan
sesuai dengan kebutuhan.
Perkembangan pelayanan
kebidanan memerlukan kualitas bidan yang memadai atau handal dan diperlukan
monitoring/permantauan pelayanan oleh karena itu adanya Konsil Kebidanan sangat
diperlukan serta adanya pendidikan bidan yang berorientasi pada profesional dan
akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan
dan syarat utama untuk percepatan peniingkatan kualitas pelayanan kebidanan.
d.
Kepmenkes no.
900/Menkes/SK/VII/2000 tentang registrasi dan praktek bidan pasal 2 dan 4.
§ Registrasi
adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap bidan,
setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti/ standar penampilan minimal
yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek
profesinya.
§ Praktek
bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan
kepada pasien (individu,keluarga,dan masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan
kemampuannya untuk itu diperlukan surat izin praktek bidan ( SIB ) sebagai
bukti tertulis.
e. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1.
Kewenangan normal:
o
Pelayanan kesehatan ibu
o
Pelayanan kesehatan anak
o
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
2.
Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah
3.
Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang
tidak memiliki dokter.
4.
Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki oleh
seluruh bidan. Kewenangan ini meliputi:
a.
Pelayanan kesehatan ibu.
v Ruang lingkup:
§ Pelayanan konseling pada masa pra
hamil
§ Pelayanan antenatal pada kehamilan
normal
§ Pelayanan persalinan normal
§ Pelayanan ibu nifas normal
§ Pelayanan ibu menyusui
§ Pelayanan konseling pada masa antara
dua kehamilan
v Kewenangan:
§ Episiotomi
§ Penjahitan luka jalan lahir tingkat
I dan II
§ Penanganan kegawat-daruratan,
dilanjutkan dengan perujukan
§ Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
§ Pemberian vitamin A dosis tinggi
pada ibu nifas
§ Fasilitasi/bimbingan inisiasi
menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif
§ Pemberian uterotonika pada manajemen
aktif kala tiga dan postpartum
§ Penyuluhan dan konseling
§ Bimbingan pada kelompok ibu hamil
§ Pemberian surat keterangan kematian
§ Pemberian surat keterangan cuti
bersalin
b. Pelayanan kesehatan anak
v Ruang lingkup:
§
Pelayanan bayi baru lahir
§
Pelayanan bayi
§
Pelayanan anak balita
§
Pelayanan anak pra sekolah
v
Kewenangan:
§
Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,
pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan
bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat
§
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
§
Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
§
Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah
§
Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra
sekolah
§
Pemberian konseling dan penyuluhan
§
Pemberian surat keterangan kelahiran
§
Pemberian surat keterangan kematian
c. Pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana, dengan kewenangan:
1. Memberikan penyuluhan dan konseling
kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2. Memberikan alat kontrasepsi oral dan
kondom
Selain
kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi bidan yang
menjalankan program Pemerintah mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan
pelayanan kesehatan yang meliputi:
1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan,
alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah
kulit
2. Asuhan antenatal terintegrasi dengan
intervensi khusus penyakit kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi
dokter)
3. Penanganan bayi dan anak balita
sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta
masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan
penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak
balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan
komunitas
7. Melaksanakan deteksi dini, merujuk
dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk
pemberian kondom, dan penyakit lainnya
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang
merupakan program Pemerintah
Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan
antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan
deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular
Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan
yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut.
Selain itu, khusus di daerah
(kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan
kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah
tersebut sudah terdapat tenaga dokter.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR
HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Bidan
adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah
teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2.
Fasilitas
pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
3.
Surat
Izin Praktek Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan
praktik kebidanan.
4.
Standar
adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan standar
operasional prosedur.
5.
Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya
disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada
tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6.
Obat
Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh
tanpa resep dokter.
7.
Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo
bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
8.
Organisasi
Profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia.
BAB II PERIZINAN
Pasal 2
1.
Bidan
dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan
2.
Fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
3.
Bidan
yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan.
Pasal
3
1.
Setiap
bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
2.
Kewajiban
memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan praktik pada fasilitas
pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas
pemerintah sebagai Bidan Desa.
Pasal
4
1.
SIPB
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota.
2.
SIPB
berlaku selama STR masih berlaku.
Pasal
5
1.
Untuk
memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan
dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari
Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d.Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6
sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2.
Surat
permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana
tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3.
SIPB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat
praktik.
4.
SIPB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II
terlampir
Pasal
6
1.
Bidan
dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat
praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2.
Ketentuan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran
peraturan ini.
3.
Dalam
menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib
memasang nama praktik kebidanan
Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 8
Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan
kebidanan
b. Pelayanan
reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan
kesehatan masyarakat
Pasal 9
1.
Pelayanan
kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu dan
bayi
2.
Pelayanan
kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa
kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3.
Pelayanan
kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru
lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Pasal
10
1.
Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2)
meliputi:
a)
Penyuluhan
dan konseling
b)
Pemeriksaan
fisik
c)
Pelayanan
antenatal pada kehamilan normal
d) Pertolongan persalinan normal
e)
Pelayanan ibu nifas normal
2.
Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3)
meliputi:
a)
Pemeriksaan
bayi baru lahir
b)
Perawatan
tali pusat
c)
Perawatan bayi
d) Resusitasi pada bayi baru lahir
e)
Pemberian
imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f)
Pemberian
penyuluhan
Pasal 11
Bidan
dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a
berwenang untuk:
a)
Memberikan
imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b)
Bimbingan
senam hamil
c)
Episiotomi
d) Penjahitan luka episiotomi
e)
Kompresi
bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f)
Pencegahan
anemi
g)
Inisiasi
menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h)
Resusitasi
pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i)
Penanganan
hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j)
Pemberian
minum dengan sonde/pipet
k)
Pemberian
obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l)
Pemberian
surat keterangan kelahiran
m) Pemberian surat keterangan hamil untuk
keperluan cuti melahirkan
Pasal
12
Bidan
dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a) Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan
dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan
kondom;
b) Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
c) Memberikan penyuluhan/konseling
pemilihan kontrasepsi
d) Melakukan pencabutan alat kontrasepsi
dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah; dan
e) Memberikan konseling dan tindakan
pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.
Pasal
13
Dalam
memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
huruf c, berwenang untuk:
a)
Melakukan
pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi
b) Melaksanakan pelayanan kebidanan
komunitas; dan
c) Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan
memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
Pasal
14
1.
Dalam
keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter
di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2.
Bagi
bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam
rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di
luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3.
Daerah
yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan
atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4.
Dalam
hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter,
kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal
15
1.
Pemerintah
daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di
daerah yang tidak memiliki dokter.
2.
Pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan modul Modul
Pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
3.
Bidan
yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.
Pasal
16
Pada
daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan
dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I
kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal
17
Bidan
dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 18
1.
Dalam
menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a.
Menghormati
hak pasien
b.
Merujuk
kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c.
Menyimpan
rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
Memberikan
informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e.
Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang
akan dilakukan;
f.
Melakukan
pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g.
Mematuhi
standar; dan
h.
Melakukan
pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan
kematian.
2.
Bidan
dalam menjalankan praktik senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
tugasnya.
Pasal
19
Dalam
melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a)
Memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan standar
profesi dan standar pelayanan;
b)
Memperoleh
informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c)
Melaksanakan
tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d)
Menerima
imbalan jasa profesi.
BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal
20
1.
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan
organisasi profesi.
2.
Pembinaan
dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Pasal
21
1.
Dalam
rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam
peraturan ini.
2.
Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Teguran lisan
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIPB untuk sementara
paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. Pencabutan SIPB selamanya.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
22
1.
SIPB
yang dimiliki Bidan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan masih tetap berlaku
sampai masa SIPB berakhir.
2.
Pada
saat peraturan ini mulai berlaku, SIPB yang sedang dalam proses perizinan,
dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal
23
Pada
saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan sepanjang yang
berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan
ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di
Jakarta. Pada
tanggal 27 Januari 2010 . Dr. Endang rahayu Sedyaningsih, MPH, DR, PH
Dalam buku Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial
Indonesia yang ditulis oleh Ida Bagus Gde Manuaba, dan Konsep Kebidanan
yang ditulis oleh Dwana
Estiwidani, dkk.
•
1798 : ditemukan vaksin cacar oleh Yenner di Inggris
•
1804 : Pencacaran pertama di Indonesia
•
1849 : Dibuka Pendidikan Dokter dan dibentuknya Rumah Sakit
Gatot Subroto.
•
1850 : Kursus kebidanan dibuka untuk masyarakat pribumi di
bawah seorang bidan VOC.
•
1851 : Pendidikan bidan dan dukun.
•
1852 : Pelatihan bidan secara formal.
•
1873 : kursus bidan ditutup kembali oleh pemerintah Belanda
karena ± 37 bidan yang berdomisili di kota hanya
menolong persalinan orang Belanda dan Cina.
•
1897 : Professor Boerna Guru Besar pertama di Batavia
membuka kembali pendidikan bidan.
•
1890 : Pihak swasta membuka pendidikan bidan sprti misi
Katolik di Tjideres Jawa Barat dan Pearaja Sumatra Utara.
•
1920 : dr. Piverelli
mendirikan biro konsultasi Ibu dan anak di batavia "Consultatie Bureau
Vorr Moedern en Kind". Di Jawa Barat biro konsultasi semacam itu
dipelopori oleh dr. Poerwosoewardjo dan Dr. Soemeroe dengan megikutsertakan
dukun beranak. Inilah yang menjadi cikal bakal dukun sehingga lebih mampu
memberikan pertolongan persalinan.
•
1938 : 376 bidan di Indonesia diakui, namun masih dalam
jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Oleh
karena itu, masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun beranak.
•
1938 : Kongres Vereniging Van Geneeskundingen di Semarang
menolak bentuk "pembantu bidan" yang didapat dari tenaga juru rawat
yang telah bekerja selama 3 tahun dan mendapat penndidikan selama 2 tahun.
Mereka menghendaki berdirinya sekolah kebidanan. Prof. Remeltz, untuk pertama
kalinya meluluskan keinginan dr. M. Toha, muridnya untuk mendirikan sekolah
kebidanan. Saat itu dr. M. Toha di tempatkan di Cirebon dan sangat luas
mengutarakan betapa menyedihkan masalah yang dihadapi negeri ini dalam bidang
pelayanan kebidanan. Namun, perang Dunia II pecah dan renana ini gagal. Setelah
merdeka, dr. M. Toha mendapat tugas baru untuk memimpin bagian kebidanan dan
penyakit kandungan di Fakultas Kedokteran UI cabang Surabaya. namun, usaha
sekolah bidan di Cirebon dilanjutkan oleh Dr. Soetomo Joedosepoetro. dr. M.
Toha yang mendirikan sekolah bidan di RS dr. Soetomo Surabaya kemudian beliau
menarik dr. Soetomo dari Cirebon utuk membantu di UNAIR Fakultas Kedokteran.
•
1948 : Dr. H. Sinaga dari Tarutung mengeluarkan stensilan
untuk pendidikan bidan. Dr. S.A. Goelam mengeluarkan buku (1) Ilmu Kebidanan I,
bagian fisiologi dan (2) Ilmu Kebidanan II bagian patologi.
•
1950 : KIA didirikan oleh Dr. Moechtar dan Dr. Soeliyanti di
Depkes RI Yogyakarta. Dan tercatat ada 475 dokter, 4000 perawat termasuk bidan
dan spesialis obstetri dan ginekologi di Indonesia.
•
1953 : Dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) untuk meningkatkan
pelayanan kebidanan.
•
1957 : Pemberian pelayanan di puskesmas.
•
1970 : 26 - 31 Juli kongres POGI (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia) tercatat 8000 dokter umum, 16.888 bidan dan 286 spesialis
obstetri di Indonesia.
•
1978 : Tercatat 90% - 92%
persalinan oleh dukun dan 1% - 6% oleh dokter. Dan dilakukan pelatihan
pada 110.000 dukun beranak tapi 80% - 85% dari mereka tidak melakukan
konsultasi lagi pada bidan yang melatihnya. Kemudian mantan Wapres Bapak
Soeharto pada World Congress of Human Reproducion di Nusa Dua Bali mencanangkan
penempatan 50.000 bidan sebagai upaya mendekatkan pertolongan persalinan oleh
tenaga telatih dengan membangun Polindes (Pondok Bersalin Desa).
•
1990 : Pelayanan kebidanan diberikan secara merata sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
•
1992 : Keputusan presiden secara langsung disidang kabinet
bahwa perlunya penugasan bidan ke desa-desa.
•
1994 : Konferensi di Kairo yang menekankan pada pelayanan
kebidanan yaitu:
-
Safe mother hood, bayi baru lahir dan abortus
-
Family planning
-
PMS (Penyakit menular seksual), termasuk infeksi saluran
alat produksi
-
Kesehatan reproduksi remaja
-
Kesehatan reproduksi pada orang tua (ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, dan KB)
2.2.2
Perkembangan Pendidikan Kebidanan
Menurut referensi lain.
Perkembangan pendidikan bidan
berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring
untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang
dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa
penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr.
W Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan
ini tidak berlangsung lama, karena kurangnya peserta didik yang disebabkan
karena adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pada tahun 1902 pendidikan bidan dibuka
kembali bagi wanita pribumi di Rumah Sakit Militer di Batavia dan pada tahun
1904 pendidikan bidan bagi wanita Indo dibuka di Makassar. Lulusan dari
pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya
dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/ kurang mampu secara
cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25
Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan
tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon
yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan
pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima
juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat
meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Untuk perawat pria dapat
meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah kolonial
Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP Bagian B) dan hampir
bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di
RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. Di tahun
yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan
berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo
dan pendidikan kebidanan selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu (Vroedvrouw
eerste klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas Dua
(Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaii pokok dan
tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, permerintah mendirikan
sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun
memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik
kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa,
karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah
bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan
tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak,
maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenang Kesehatan E atau
Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu
ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan
dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua
tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan
(KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada
tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk
memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenal perkembangan program KIA dalam
pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan
terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discontinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan
secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di
Bandung. Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudan menjadi
dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972
institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan
ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program
pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR)
ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan
Jurusan Kebidanan (SPUK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di
seluruh propinsi.
Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga
kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 katagori), Departemen Kesehatan
melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga, kesehatan non sarjana. Sekolah
bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya
tenaga multi purpose di lapangan dimana, salah satu tugasnya, adalah menolong
persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum
terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah
agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada, tahun 1975 sampai 1984 institusi
pendidikan bidan ditutup, sehingga selama, 10 tahun tidak menghasilkan bidan.
Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup, secara wajar.
Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan
perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk
kebidanan, dibuka pendidikan diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini
hanya, berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program
pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan dari SPR dan SPK.
Pada saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di masyarakat. Lama
pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang
mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program
pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung
masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan
Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di
desa-desa, dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak.
Untuk itu pemenintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai
negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai
pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan
pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi
sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya
tidak hanya kemampuan klinik sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk
berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam
meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A)
diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996
sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan
ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan seperti yang
diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang
terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu
tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik
kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai
seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program
Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat
(Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk
mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan
hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak
menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu
singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua
angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan
bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini
dilakukan di 11 propinsi yaitu: Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah
Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah
Kalimantan), Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya.
Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu
enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas,
sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan
Bidan Jarak Jauh (distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan
upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam
pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan
ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XlI/ 1994.
Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ
Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakkan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikoordinasikan oleh
Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996)
dilaksanakan di 15 propinsi, pada tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16
propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi. Secara
kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah
3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26
propinsi dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi
Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan
Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang
lulus karena laporan belum masuk.
Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun
1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal (LSS=Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul.
Koordinatorya adalah Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas, sedang
pelaksananya adalah rumah sakit propinsi/kabupaten. Penyelenggaraan ini dinilai
tidak efektif ditinjau dan diproses.
Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan
Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ACNM) dan rumah
sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang
Untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS
ini mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek
swasta. Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih
bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru, dosen dari D3 Kebidanan.
1995-1998, IBI bekerjasama langsung
dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit,
bidan Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih
Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal
Health (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa
propinsi/kabupaten, Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan
tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan
Selain melalui pendidikan formal dan
pelatihan, Untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan
lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan
organisasi (Organization Development= OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak
dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEF.
Hingga saat ini kurang lebih 160
institusi program D III kebidanan yang ada di Indonesia. Untuk mendapatkan
lulusan D3 kebidanan yang profesional dalam memberikan pelayanan kebidanan maka
dibutuhkan tenaga dosen / pembimbing yang handal dan siap pakai . Tahun 2000
telah dibuka D IV bidan pendidik di FK UGM dan tahun 2001 di Fakultas
Kedokteran UNPAD juga membuka program D IV Kebidanan dengan lama pendidikan 1
tahun dengan syarat telah mengikuti D III Kebidanan.
Dalam buku Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial
Indonesia yang ditulis oleh Ida Bagus Gde Manuaba, dan Konsep Kebidanan
yang ditulis oleh Dwana
Estiwidani, dkk.
2.1.3.1 Pendidikan Formal
•
1851 : Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr.
W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan
ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didi yang disebabkan karena
adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
•
1902 : Dibuka bagi waita pribumi di RS Militer di Batavia
•
1903 : Dibuka bagi wanita indo Makasar
•
1911-1912 : Dibuka pendidikan tenaga keperawatan di RSUD
Batavia yang menerima lulusan SD, sekolah selama 4 tahun untuk pria dan dapat
melanjutkan pendidikan keperawatan lanjutan selama 2 tahun
•
1914 : Tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita
pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan ke pendidikan
kebidanan selama 2 tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan
keperawatan lanjtan selama 2 tahun juga.
•
1935-1938 :
pemerintah colonial belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (setingkat
SMP) dan hamper besamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara
lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di
Semarang. Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan
lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar
pendidikannya Mulo dan pendidikan kebidanan selama 3 tahun disebut bidan kelas
satu. Dan bidan dari lulusan perawat disebut bidan kelas dua.
•
1950-1953 : Dibuka pendidikan bagi lulusan SMU dengan batas
umur 17 tahun karena banyak partus sehingga perlu asisten bidan
•
1953 : Dibuka kursus tambahan bidan di Yogyakarta selama
7-12 minggu
•
1954 : Dibuka pendidikan guru bidan dan perawat dibandung
•
1957 : KTB Yogyakarta di tutup
•
1960 : KTB pindah ke Jakarta
•
1967 : KTB Jakarta ditutup
•
1970 : Menerima lulusan SPK disekolah bidan ditambah 2 tahun
pendidikan bidan yaitu SPLJK (sekolah pendidikan lanjut kebidanan)
•
1971 : Institusi dilebur menjadi SGP dengan peserta bidan
dan perawat
•
1974 : Dari pemerintah berdasarkan 24 kategori SPLJK dan SPR
dijadikan satu menjadi SPK, sekolah bidan yang ada ditutup.
•
1976. : Dibuka PKE dari lulusan SMP, kemudian dilanjutkan ke
kebidanan dasar namun tidak lama kemudian sekolah ini ditutup.
•
1974-1984 : Indonesia tidak menghasilkan namun IBI tetap ada
dan tuimbuh secara wajar
•
1981 : Dibuka diploma I bidan untuk menigkatkan pelayanan
bidan
•
1985 : P2B program pendidikan bidan 1 (satu) tahun menerima
dari SPR dan SPK
•
1989 : Dibuka crash program pendidikan bidan secara
nasional. P2B A keluarnya menjadi PNS golongan II (dua) dan menjadi bian di
desa.
•
1993 : Dibuka P2B B dari akademi keperawatan selama 1 (satu)
tahun untuk tenaga pengajar kebidanan. Bersama P2B B dibuka P2B C. Dibuka di 11
(sebelas) propinsi menerima lulusan SLTP. Namun hasilnya merupakan karbitan
karena bidan desa kurang, maka hanya ingin mencapai target.
•
1995-1996 : P2B B di tutup karena tidak tercipta kompetesi
seperti yang diharapkan
•
1996 : Bidan PPT 3 (tiga) tahun diperpanjang 3 (tiga) tahun
lagi
2.1.3.2 Pendidikan Nonformal
•
1994-1995 : Diadakan uji coba pendidikan bidan DJJ di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, seperti Universitas terbuka dikoordinasikan
Pusdiklat Depkes.
•
1995-1996 : Dibuka di 15 Provinsi DJJ II.
•
1996-1997 : Dibuka di 16 Provinsi DJJ II
•
1997-1998 : Dibuka di 26 Provinsi DJJ II
•
1998-1999 : Dibuka di 26 Provinsi DJJ II didalam pencatatan
peserta DJJ terdiri dari 6306 orang namun lulus hanya 3439 orang karena
bidan-bidan itu terlalu menyepelekan pelajarannya.
•
2000-Sek : Dibuka program D4 Bidan Pendidik untuk memenuhi
kebutuhan tenaga pendidik di Akademi kebidanan.
Kerjasama IBI dan UGM Yogyakarta. Awal April dibuka di Bandung (UNPAD) dan Sumatera Utara (USU).
Kerjasama IBI dan UGM Yogyakarta. Awal April dibuka di Bandung (UNPAD) dan Sumatera Utara (USU).
•
1994 : Dibuka pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal
dan neonatal (Life Saving Skill) dan DJJ di koordinasi Direktorat Dinas
Kesehatan.
•
1995 : IBI kerjasama dengan Mother Care, Bidan Rumah Sakit,
Puskesmas untuk pelatihan perperium.
•
1996 : IBI kerjasama dengan AIMF dan Depkes. IBI, Depkes dan
AMCN di Rumah Sakit Swasta POT. Anggota IBI 8 orang dikirim ke Amerika untuk
kemudian mengantar bidan-bidan praktek dari Provinsi ke Provinsi. Berdiri
Akademi Kebidanan di Jakarta dan Yogyakarta.
•
1997 : Pelatihan APN (Asuhan Persalinan Normal). Akademi
Kebidanan di Pontianak dibuka di gedung SPK dan disebut AKBID DEPKES Pontianak.
•
1998 : AKBID mene
•
1999 : P2B A ditutup.
•
2000 : Dibuka pelatihan APN untuk para pelajar di bidan
•
2001 : Telah dibuka bidan pendidik untuk memenuhi tenaga
pendidik di AKBID bekerjasama IBI-UGM di UGM Yogyakarta.
•
2002 : Awal April dibuka D4 di Bandung dan Sumatera Utara.
Pendidikan Bidan Saat Ini Di Indonesia. Faktor penting dalam menekan angka kematian ibu hamil dan anak maka dibentuk strategi sehat 2010 Meliputi :
Pendidikan Bidan Saat Ini Di Indonesia. Faktor penting dalam menekan angka kematian ibu hamil dan anak maka dibentuk strategi sehat 2010 Meliputi :
-
Peningkatan profesionalisme SDM kesehatan,
-
Desentralisasi,
-
Pemerataan pelayanan kesehatan,
-
Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat
Menurut data bulan Agustus 1999, bidan di indonesia sebanyak 65.685 orang di 27 pengurus daerah IBI di propinsi dan 318 pengurus cabang IBI. Jumlah tersebut setiap tahun akan berkurang sebanyak 10 % akibat :
Menurut data bulan Agustus 1999, bidan di indonesia sebanyak 65.685 orang di 27 pengurus daerah IBI di propinsi dan 318 pengurus cabang IBI. Jumlah tersebut setiap tahun akan berkurang sebanyak 10 % akibat :
•
Usia
•
Alih profesi
•
Menikah
•
Pensiun
•
Meninggal
Maka
untuk mengatasinya, dibuka pendidikan bidan D-3 yang pesertanya terdiri dari
lulusan bidan D-1 dan SMU. Dengan semua itu, diharapkan program Indonesia sehat
2010 dapat tercapai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Indonesia telah membutuhkan dan menggunakan tenaga pembantu persalinan sejak
dahulu, namun faktor terbesar yang menghambat pendidikan formal kebidanan berkembang adalah perang Dunia ke II,
yang mengakibatkan eknomi kurang dan tenaga pendidik yang tidak dapat
berdomisili di suatu wilayah dalam waktu yang cukup lama.
DAFTAR
PUSTAKA
•
Estiwidani, Dwana, dkk. 2008. Konsep Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya
•
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2001. Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial
Indonesia. Jakarta : EGC
•
Sofyan, Mustika, dkk. 2003. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta :
PP IBI
•
Hanifa
Wiknjosastro, “ Ilmu Kebidanan”, Jakarta 2001
0 komentar:
Posting Komentar