04 April 2013

Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Kebidanan di Indonesia

Diposting oleh Unknown di 4/04/2013 07:52:00 PM

BAB I
PENDAHULUAN


1.1                   Latar Belakang
Pada hakikatnya, ilmu kebidanan sudah ada sejak manusia ada. Bidan lahir sebagai wanita terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu-ibu yang melahirkan. Profesi ini telah mendudukan peran dan posisi seorang bidan menjadi terhormat di masyarakat karena tugas yang diembannya sangat mulia dalam upaya memberikan semangat dan membesarkan hati ibu-ibu. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya.Untuk itu sejak tahun 1990 telah ditempatkan bidan di desa,yang pada tahun 1996 telah mencapai target 54.120 bidan. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa hampir semua desa di wilayah Indonesia mempunyai akses untuk pelayanan kebidanan.
Salah satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas ibu, khususnya dinegara berkembang dan negara miskin (25%-50%)
Oleh karena itu kita perlu mengetahui perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan baik baik secara nasional maupun internasional. Ini semua diperlukan untuk menambah wawasan kita sebagai Bidan.

1.2                   Tujuan
Mempelajari dan memahami sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan secara nasional

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1                   Definisi Kebidanan
Bidan adalah seseorang yang telah Program Pendidikan Bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktik kebidanan di negeri itu.
2.2         Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Kebidanan di Indonesia
2.2.1 Perkembangan Pelayanan Kebidanan
          Menurut referensi lain.
Perkembangan pelayanan dan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan, politik atau kebijakan pemerintah dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan masyarakat serta kemajuan ilmu dan tekhnologi.
Dari tahun ke tahun pelayanan kebidanan mengalami perkembangan sebagai berikut:
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (Zaman Gubernur Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan terrmasuk pelayanan kebidanan hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 dibuka pendidikan dokter Jawa di Batavia (RS Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Seiring dibukanya pendidikan dokter tersebut pada tahun 1851 dibuka pendidikan Bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) lulusan ini kemudian bekerja di RS juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan Bidan.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Kursus untuk dukun masih berlangsung sampai sekarang, yang memberikan kursus adalah Bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah kursus tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Jogjakarta yang akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di Nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah balai kesehatan ibu dan anak (BKIA) dimana Bidan sebagai penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat
Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, post natal dan pemeriksaan bayi dan anak termasuk imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberikan pertolongan persalinan di rumah keluarga dan pergi melakukan kunjungan rumah sebagai upaya tindak lanjut dari pasca persalinan.
              Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup empat kegiatan yaitu: pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan. kesehatan bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi. Dalam kaitan tersebut, bidan di desa juga menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang pelaksanaannya sejalan dengan tugas utamanya dalam pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam, hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada reproductive health (kesehatan reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi:
1.                   Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir clan perawatan     abortus.
2.                   Family Planning.
3.                   Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi.
4.                   Kesehatan reproduksi remaja.
5.                   Kesehatan reproduksi pada orang tua.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut dimulai dari:
a.                  Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada   pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b.                  Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989 wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus. Dalam wewenang khusus ditetapkan bila bidan melaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan. Pelaksanaan dari Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
c.                  Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup:
§     Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
§     PelayananKeluargaBerencana.
§     Pelayanan kesehatan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Selanjutnya diuraikan kewenangan bidan yang terkait dengan lbu dan anak, lebih terinci misalnya: kuretasi digital untuk sisa jaringan konsepsi, vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul, resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfeksia dan hipotermia dan sebagainya. Pelayanan kebidanan dalam bidang keluarga berencana, bidan diberi wewenang antara lain: memberikan alat kontrasepsi melalui oral, suntikan, AKDR, AKBK (memasang maupun mencabut) kondom dan tablet serta tissu vaginal.
Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Di samping itu bidan diwajibkan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia, meminta persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan, memberikan informasi serta melakukan rekam medis dengan baik. Untuk memberikan petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan ini dikeluarkan Juklak yang dituangkan dalam Lampiran Keputusan Dirjend Binkesmas No. 1506/Tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidaklah mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut dapat diawali dari institusi pendidikan yang berpedoman pada kompetensi inti bidan dan melalui institusi pelayanan dengan meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan kebutuhan.

Perkembangan pelayanan kebidanan memerlukan kualitas bidan yang memadai atau handal dan diperlukan monitoring/permantauan pelayanan oleh karena itu adanya Konsil Kebidanan sangat diperlukan serta adanya pendidikan bidan yang berorientasi pada profesional dan akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan dan syarat utama untuk percepatan peniingkatan kualitas pelayanan kebidanan.
d.         Kepmenkes no. 900/Menkes/SK/VII/2000 tentang registrasi dan praktek   bidan pasal 2 dan 4.
§   Registrasi adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap bidan, setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti/ standar penampilan minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek profesinya.
§   Praktek bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada pasien (individu,keluarga,dan masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya untuk itu diperlukan surat izin praktek bidan ( SIB ) sebagai bukti tertulis.
e.         Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
1.        Kewenangan normal:
o   Pelayanan kesehatan ibu
o   Pelayanan kesehatan anak
o   Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2.        Kewenangan dalam menjalankan program Pemerintah
3.        Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.
4.        Kewenangan normal adalah kewenangan yang dimiliki oleh seluruh bidan. Kewenangan ini meliputi:
a.       Pelayanan kesehatan ibu.
v Ruang lingkup:
§  Pelayanan konseling pada masa pra hamil
§  Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
§  Pelayanan persalinan normal
§  Pelayanan ibu nifas normal
§  Pelayanan ibu menyusui
§  Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
v  Kewenangan:
§  Episiotomi
§  Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II
§  Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan
§  Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
§  Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas
§  Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI) eksklusif
§  Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum
§  Penyuluhan dan konseling
§  Bimbingan pada kelompok ibu hamil
§  Pemberian surat keterangan kematian
§  Pemberian surat keterangan cuti bersalin
b.      Pelayanan kesehatan anak
v  Ruang lingkup:
§  Pelayanan bayi baru lahir
§  Pelayanan bayi
§  Pelayanan anak balita
§  Pelayanan anak pra sekolah
v    Kewenangan:
§  Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat
§  Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk
§  Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
§  Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah
§  Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
§  Pemberian konseling dan penyuluhan
§  Pemberian surat keterangan kelahiran
§  Pemberian surat keterangan kematian
c.       Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, dengan kewenangan:
1.      Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
2.      Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom
Selain kewenangan normal sebagaimana tersebut di atas, khusus bagi bidan yang menjalankan program Pemerintah mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang meliputi:
1.      Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2.      Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter)
3.      Penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4.      Melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan
5.      Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
6.      Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
7.      Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya
8.      Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi
9.      Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program Pemerintah
Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk pelayanan tersebut.
Selain itu, khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan normal tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut sudah terdapat tenaga dokter.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.             Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2.             Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
3.             Surat Izin Praktek Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik kebidanan.
4.             Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur.
5.              Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6.             Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
7.              Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
8.             Organisasi Profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia.

BAB II PERIZINAN
Pasal 2
1.             Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan
2.             Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri.
3.             Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan.
Pasal 3
1.             Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
2.             Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah sebagai Bidan Desa.
Pasal 4
1.             SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.
2.             SIPB berlaku selama STR masih berlaku.
Pasal 5
1.             Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d.Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2.             Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3.             SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik.
4.             SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir
Pasal 6
1.             Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2.             Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran peraturan ini.
3.             Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib memasang nama praktik kebidanan
Pasal 7
SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia

BAB III PENYELENGGARAAN PRAKTIK
Pasal 8

Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pasal 9
1.             Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu dan bayi
2.             Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3.             Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a)        Penyuluhan dan konseling
b)        Pemeriksaan fisik
c)        Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d)       Pertolongan persalinan normal
e)         Pelayanan ibu nifas normal
2. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a)        Pemeriksaan bayi baru lahir
b)        Perawatan tali pusat
c)         Perawatan bayi
d)        Resusitasi pada bayi baru lahir
e)        Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f)         Pemberian penyuluhan
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a)        Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b)        Bimbingan senam hamil
c)        Episiotomi
d)       Penjahitan luka episiotomi
e)        Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f)         Pencegahan anemi
g)        Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h)        Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i)          Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j)          Pemberian minum dengan sonde/pipet
k)        Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l)          Pemberian surat keterangan kelahiran
m)      Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a)      Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b)      Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
c)      Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d)     Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah; dan
e)      Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.
Pasal 13
Dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
a)      Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi
b)      Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c)      Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
Pasal 14
1.             Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2.             Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3.             Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4.             Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal 15
1.             Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
2.             Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
3.             Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.
Pasal 16
Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 18
1.             Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a.                   Menghormati hak pasien
b.                   Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c.                   Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.                  Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e.                    Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f.                    Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g.                   Mematuhi standar; dan
h.                   Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian.
2.             Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a)             Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b)             Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau keluarganya;
c)             Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d)            Menerima imbalan jasa profesi.

BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 20
1.             Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan organisasi profesi.
2.             Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Pasal 21
1.             Dalam rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
2.             Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. Pencabutan SIPB selamanya.

BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
1.             SIPB yang dimiliki Bidan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan masih tetap berlaku sampai masa SIPB berakhir.
2.             Pada saat peraturan ini mulai berlaku, SIPB yang sedang dalam proses perizinan, dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 24
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta. Pada tanggal 27 Januari 2010 . Dr. Endang rahayu Sedyaningsih, MPH, DR, PH

Dalam buku  Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia yang ditulis oleh Ida Bagus Gde Manuaba, dan Konsep Kebidanan yang ditulis oleh Dwana Estiwidani, dkk.          
                1798 : ditemukan vaksin cacar oleh Yenner di Inggris
                1804 : Pencacaran pertama di Indonesia
                1849 : Dibuka Pendidikan Dokter dan dibentuknya Rumah Sakit Gatot Subroto.
                1850 : Kursus kebidanan dibuka untuk masyarakat pribumi di bawah seorang bidan VOC.
                1851 : Pendidikan bidan dan dukun.
                1852 : Pelatihan bidan secara formal.
                1873 : kursus bidan ditutup kembali oleh pemerintah Belanda karena ± 37 bidan yang berdomisili di kota hanya menolong persalinan orang Belanda dan Cina.
                1897 : Professor Boerna Guru Besar pertama di Batavia membuka kembali pendidikan bidan.
                1890 : Pihak swasta membuka pendidikan bidan sprti misi Katolik di Tjideres Jawa Barat dan Pearaja Sumatra Utara.
                 1920 : dr. Piverelli mendirikan biro konsultasi Ibu dan anak di batavia "Consultatie Bureau Vorr Moedern en Kind". Di Jawa Barat biro konsultasi semacam itu dipelopori oleh dr. Poerwosoewardjo dan Dr. Soemeroe dengan megikutsertakan dukun beranak. Inilah yang menjadi cikal bakal dukun sehingga lebih mampu memberikan pertolongan persalinan.
                1938 : 376 bidan di Indonesia diakui, namun masih dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun beranak.
                1938 : Kongres Vereniging Van Geneeskundingen di Semarang menolak bentuk "pembantu bidan" yang didapat dari tenaga juru rawat yang telah bekerja selama 3 tahun dan mendapat penndidikan selama 2 tahun. Mereka menghendaki berdirinya sekolah kebidanan. Prof. Remeltz, untuk pertama kalinya meluluskan keinginan dr. M. Toha, muridnya untuk mendirikan sekolah kebidanan. Saat itu dr. M. Toha di tempatkan di Cirebon dan sangat luas mengutarakan betapa menyedihkan masalah yang dihadapi negeri ini dalam bidang pelayanan kebidanan. Namun, perang Dunia II pecah dan renana ini gagal. Setelah merdeka, dr. M. Toha mendapat tugas baru untuk memimpin bagian kebidanan dan penyakit kandungan di Fakultas Kedokteran UI cabang Surabaya. namun, usaha sekolah bidan di Cirebon dilanjutkan oleh Dr. Soetomo Joedosepoetro. dr. M. Toha yang mendirikan sekolah bidan di RS dr. Soetomo Surabaya kemudian beliau menarik dr. Soetomo dari Cirebon utuk membantu di UNAIR Fakultas Kedokteran.
                1948 : Dr. H. Sinaga dari Tarutung mengeluarkan stensilan untuk pendidikan bidan. Dr. S.A. Goelam mengeluarkan buku (1) Ilmu Kebidanan I, bagian fisiologi dan (2) Ilmu Kebidanan II bagian patologi.
                1950 : KIA didirikan oleh Dr. Moechtar dan Dr. Soeliyanti di Depkes RI Yogyakarta. Dan tercatat ada 475 dokter, 4000 perawat termasuk bidan dan spesialis obstetri dan ginekologi di Indonesia.
                1953 : Dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) untuk meningkatkan pelayanan kebidanan.
                1957 : Pemberian pelayanan di puskesmas.
                1970 : 26 - 31 Juli kongres POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) tercatat 8000 dokter umum, 16.888 bidan dan 286 spesialis obstetri di Indonesia.
                1978 : Tercatat 90% - 92%  persalinan oleh dukun dan 1% - 6% oleh dokter. Dan dilakukan pelatihan pada 110.000 dukun beranak tapi 80% - 85% dari mereka tidak melakukan konsultasi lagi pada bidan yang melatihnya. Kemudian mantan Wapres Bapak Soeharto pada World Congress of Human Reproducion di Nusa Dua Bali mencanangkan penempatan 50.000 bidan sebagai upaya mendekatkan pertolongan persalinan oleh tenaga telatih dengan membangun Polindes (Pondok Bersalin Desa).
                1990 : Pelayanan kebidanan diberikan secara merata sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
                1992 : Keputusan presiden secara langsung disidang kabinet bahwa perlunya penugasan bidan ke desa-desa.
                1994 : Konferensi di Kairo yang menekankan pada pelayanan kebidanan yaitu:
-       Safe mother hood, bayi baru lahir dan abortus
-       Family planning
-       PMS (Penyakit menular seksual), termasuk infeksi saluran alat produksi
-       Kesehatan reproduksi remaja
-       Kesehatan reproduksi pada orang tua (ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan KB)

2.2.2         Perkembangan Pendidikan Kebidanan
Menurut referensi lain.
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama, karena kurangnya peserta didik yang disebabkan karena adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pada tahun 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di Rumah Sakit Militer di Batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita Indo dibuka di Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/ kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP Bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu (Vroedvrouw eerste klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas Dua (Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaii pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, permerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenal perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discontinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudan menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPUK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di seluruh propinsi.
Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 katagori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga, kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana, salah satu tugasnya, adalah menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada, tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama, 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup, secara wajar.
Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya, berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan dari SPR dan SPK. Pada saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa, dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu pemenintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 propinsi yaitu: Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan), Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XlI/ 1994.
Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada          penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakkan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 propinsi, pada tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk.
Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (LSS=Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Koordinatorya adalah Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas, sedang pelaksananya adalah rumah sakit propinsi/kabupaten. Penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif ditinjau dan diproses.
Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ACNM) dan rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang Untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta. Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru, dosen dari D3 Kebidanan.
1995-1998, IBI bekerjasama langsung dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten, Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan
Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, Untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization Development= OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEF.
Hingga saat ini kurang lebih 160 institusi program D III kebidanan yang ada di Indonesia. Untuk mendapatkan lulusan D3 kebidanan yang profesional dalam memberikan pelayanan kebidanan maka dibutuhkan tenaga dosen / pembimbing yang handal dan siap pakai . Tahun 2000 telah dibuka D IV bidan pendidik di FK UGM dan tahun 2001 di Fakultas Kedokteran UNPAD juga membuka program D IV Kebidanan dengan lama pendidikan 1 tahun dengan syarat telah mengikuti D III Kebidanan.

Dalam buku  Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia yang ditulis oleh Ida Bagus Gde Manuaba, dan Konsep Kebidanan yang ditulis oleh Dwana Estiwidani, dkk.         
2.1.3.1 Pendidikan Formal
           1851 : Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didi yang disebabkan karena adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
           1902 : Dibuka bagi waita pribumi di RS Militer di Batavia
           1903 : Dibuka bagi wanita indo Makasar
           1911-1912 : Dibuka pendidikan tenaga keperawatan di RSUD Batavia yang menerima lulusan SD, sekolah selama 4 tahun untuk pria dan dapat melanjutkan pendidikan keperawatan lanjutan selama 2 tahun
           1914 : Tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama 2 tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjtan selama 2 tahun juga.
           1935-1938 :  pemerintah colonial belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (setingkat SMP) dan hamper besamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan kebidanan selama 3 tahun disebut bidan kelas satu. Dan bidan dari lulusan perawat disebut bidan kelas dua.
           1950-1953 : Dibuka pendidikan bagi lulusan SMU dengan batas umur 17 tahun karena banyak partus sehingga perlu asisten bidan
           1953 : Dibuka kursus tambahan bidan di Yogyakarta selama 7-12 minggu
           1954 : Dibuka pendidikan guru bidan dan perawat dibandung
           1957 : KTB Yogyakarta di tutup
           1960 : KTB pindah ke Jakarta
           1967 : KTB Jakarta ditutup
           1970 : Menerima lulusan SPK disekolah bidan ditambah 2 tahun pendidikan bidan yaitu SPLJK (sekolah pendidikan lanjut kebidanan)
           1971 : Institusi dilebur menjadi SGP dengan peserta bidan dan perawat
           1974 : Dari pemerintah berdasarkan 24 kategori SPLJK dan SPR dijadikan satu menjadi SPK, sekolah bidan yang ada ditutup.
           1976. : Dibuka PKE dari lulusan SMP, kemudian dilanjutkan ke kebidanan dasar namun tidak lama kemudian sekolah ini ditutup.
           1974-1984 : Indonesia tidak menghasilkan namun IBI tetap ada dan tuimbuh secara wajar
           1981 : Dibuka diploma I bidan untuk menigkatkan pelayanan bidan
           1985 : P2B program pendidikan bidan 1 (satu) tahun menerima dari SPR dan SPK
           1989 : Dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional. P2B A keluarnya menjadi PNS golongan II (dua) dan menjadi bian di desa.
           1993 : Dibuka P2B B dari akademi keperawatan selama 1 (satu) tahun untuk tenaga pengajar kebidanan. Bersama P2B B dibuka P2B C. Dibuka di 11 (sebelas) propinsi menerima lulusan SLTP. Namun hasilnya merupakan karbitan karena bidan desa kurang, maka hanya ingin mencapai target.
           1995-1996 : P2B B di tutup karena tidak tercipta kompetesi seperti yang diharapkan
           1996 : Bidan PPT 3 (tiga) tahun diperpanjang 3 (tiga) tahun lagi
2.1.3.2   Pendidikan Nonformal
           1994-1995 : Diadakan uji coba pendidikan bidan DJJ di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, seperti Universitas terbuka dikoordinasikan Pusdiklat Depkes.
           1995-1996 : Dibuka di 15 Provinsi DJJ II.
           1996-1997 : Dibuka di 16 Provinsi DJJ II
           1997-1998 : Dibuka di 26 Provinsi DJJ II
           1998-1999 : Dibuka di 26 Provinsi DJJ II didalam pencatatan peserta DJJ terdiri dari 6306 orang namun lulus hanya 3439 orang karena bidan-bidan itu terlalu menyepelekan pelajarannya.
           2000-Sek : Dibuka program D4 Bidan Pendidik untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di Akademi kebidanan.
Kerjasama IBI dan UGM Yogyakarta. Awal April dibuka di Bandung (UNPAD) dan Sumatera Utara (USU).
           1994 : Dibuka pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (Life Saving Skill) dan DJJ di koordinasi Direktorat Dinas Kesehatan.
           1995 : IBI kerjasama dengan Mother Care, Bidan Rumah Sakit, Puskesmas untuk pelatihan perperium.
           1996 : IBI kerjasama dengan AIMF dan Depkes. IBI, Depkes dan AMCN di Rumah Sakit Swasta POT. Anggota IBI 8 orang dikirim ke Amerika untuk kemudian mengantar bidan-bidan praktek dari Provinsi ke Provinsi. Berdiri Akademi Kebidanan di Jakarta dan Yogyakarta.
           1997 : Pelatihan APN (Asuhan Persalinan Normal). Akademi Kebidanan di Pontianak dibuka di gedung SPK dan disebut AKBID DEPKES Pontianak.
           1998 : AKBID mene
           1999 : P2B A ditutup.
           2000 : Dibuka pelatihan APN untuk para pelajar di bidan
           2001 : Telah dibuka bidan pendidik untuk memenuhi tenaga pendidik di AKBID bekerjasama IBI-UGM di UGM Yogyakarta.
           2002 : Awal April dibuka D4 di Bandung dan Sumatera Utara.
Pendidikan Bidan Saat Ini Di Indonesia. Faktor penting dalam menekan angka kematian ibu hamil dan anak maka dibentuk strategi sehat 2010 Meliputi :
-       Peningkatan profesionalisme SDM kesehatan,
-       Desentralisasi,
-       Pemerataan pelayanan kesehatan,
-       Jaminan pelayanan kesehatan masyarakat
Menurut data bulan Agustus 1999, bidan di indonesia sebanyak 65.685 orang di 27 pengurus daerah IBI di propinsi dan 318 pengurus cabang IBI. Jumlah tersebut setiap tahun akan berkurang sebanyak 10 % akibat :
         Usia
         Alih profesi
         Menikah
         Pensiun
         Meninggal
Maka untuk mengatasinya, dibuka pendidikan bidan D-3 yang pesertanya terdiri dari lulusan bidan D-1 dan SMU. Dengan semua itu, diharapkan program Indonesia sehat 2010 dapat tercapai.


BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia telah membutuhkan dan menggunakan tenaga pembantu persalinan sejak dahulu, namun faktor terbesar yang menghambat pendidikan formal kebidanan berkembang adalah perang Dunia ke II, yang mengakibatkan eknomi kurang dan tenaga pendidik yang tidak dapat berdomisili di suatu wilayah dalam waktu yang cukup lama.

















DAFTAR PUSTAKA

         Estiwidani, Dwana, dkk. 2008. Konsep Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya
         http://midwiferyeducator.sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan/
         Manuaba, Ida Bagus Gde. 2001. Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia. Jakarta : EGC
         Sofyan, Mustika, dkk. 2003. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta : PP IBI
         Hanifa Wiknjosastro, “ Ilmu Kebidanan”, Jakarta 2001
                                                       

0 komentar:

Posting Komentar

 

Ivadhatulrisma's blog